Wisata Sejarah Saung
Ranggon
Taukah
anda tentang salah satu objek wisata sejarah di kabupaten Bekasi?. Yaitu salah
satunya Saung Ranggon yang terletak di Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan,
Kecamatan Cikarang Barat, Tak Jauh dari Kawasasan Industri MM2100, dengan
keletakan pada 107º 0'.204" BT dan 06º 20' 298" LS ,
serta ketinggian 61 di atas permukaan air laut, Dan kebetulan tak jauh
dari rumah saya. Desa Cikedokan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan
umum (angkot) jurusan Cikedokan Setu. Lokasi Kampung Cikedokan memang agak
terpencil dari kampung-kampung lainnya. Cikedokan, dikatakan berasal dari kata
“Ci” yang artinya bening, dan “Kedok” berarti nyamar. Jadi Cikedokan mempunyai
arti penyamaran, hal ini disebabkan karena karuhun-karuhun yang datang ke
Cikedokan adalah mereka-mereka yang sedang menyamar, karena dikejar-kejar
Belanda.
Saung Ranggon menurut kuncen Bapak Tholib, dibangun
kira-kira pada abad-16, oleh Pangeran Rangga, putra Pangeran Jayakarta, yang
datang dan kemudian menetap di daerah ini. Saung ini kemudian terkenal dengan
sebutan Saung Ranggon, ditemukan oleh Raden Abbas tahun 1821. Dalam bahasa
Sunda saung berarti saung atau rumah yang berada di tengah ladang atau huma
berfungsi sebagai tempat menunggu padi atau tanaman palawija lainnya yang
sebentar lagi akan dipanen. Biasanya saung dibuat dengan ketinggian di atas
ketinggian 3 atau 4 meter di atas permukaan tanah. Hal ini diperlukan untuk
menjaga keselamatan bagi si penunggu dari gangguan hewan buas, seperti babi
hutan, harimau dan binatang buas lainnya.
Pangeran Jayakarta merupakan tokoh dalam sejarah Betawi,
khususnya Jakarta dan Bekasi pada masa kedatangan Belanda yang mencoba
menanamkan kekuasaan atas daerah Jakarta dan Bekasi dan sekitarnya. Saung ini
merupakan bagian dari basis perlawanan masyarakat Bekasi terhadap pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Bangunan ini diakui oleh masyarakat Bekasi, merupakan
bangunan tertua di sekitar Cikarang Barat pada khususnya dan mungkin sekali di
seluruh Bekasi.
Saung Rangon berdiri di atas tanah seluas 500 m², dengan
ukuran bangunan seluas 7,6 m x 7, 2 m dan tinggi bangunan dari permukaan tanah
2,5 m. Bentuk Saung Ranggon adalah rumah panggung, menghadap ke arah selatan
ditandai dengan penempatan tangga pintu utama dengan 7 buah anak tangga untuk
masuk ke dalam rumah tersebut; bagian dalam Saung Ranggon hanya merupakan
ruangan terbuka dan tanpa sekat pemisah antara ruangan, walaupun ada sebuah
kamar; Bentuk atap Julang Ngapak (atap yang terdiri dari dua bidang miring)
dengan penutupnya dari sirap kayu; dinding terbuat dari papan dan tidak
mempunyai jendela, dan pada dinding terdapat bukaan selebar 30 cm yang ada di
sebelah kiri dan kanan dengan cara dinding bawah agak masuk ke dalam, sedangkan
dinding atas berada di luar menempel langsung pada langit-langit kemungkinan
disengaja sebagai ventilasi, ada juga bagian dinding yang terbuat dari
bilik(bambu); rangka dan tiang-tiang terbuat dari kayu; bagian bawah bangunan (kolong
bangunan) terdapat tempat penyimpanan benda-benda pusaka yang dibentuk
menyerupai sumur (sekarang dibentuk lantai); Sedangkan sekeliling bangunan
telah diberi pagar besi setinggi 1,20 m.
Saung Ranggon yang tampak
sekarang, merupakan hasil renovasi-renovasi sebelumnya, namun menurut pengakuan
kuncen (Juru Pelihara) tetap memperhatikan dalam penggantian bahan dan tetap
memelihara pelestarian bangunan kuno ini. Masyarakat Cikedokan beranggapan
bahwa yang membangun Saung Ranggon adalah cikal bakal mereka, sehingga
keberadaanya Saung Ranggon sangat dihormati dan dipelihara dengan baik.
Tujuan dari pembuatan Saung Ranggon pertama-tama adalah
tempat menyepi dan bersembunyi dari kejaran pihak Belanda. Tapi di kemudian
hari fungsi Saung Ranggon itu menjadi tempat menyimpan berbagai benda pusaka,
dan yang lebh unik lagi bahwa Saung Ranggon kini menjadi tempat ziarah
orang-oarng yang memerlukan ”bantuan” dalam menghadapi kenyataan hidup. Tujuan
orang berziarah tersebut bermacam-macam, mulai dari keinginan untuk keselamatan,
naik pangkat atau untuk meminta berkah karena akan melakukan hajatan di
rumahnya. Orang-orang yang datang ke Saung Ranggon bukan saja masyarakat
setempat tetapi ada yang dari luar Bekasi. Pantangan yang ada apabila memasuki
Saung Ranggon ini adalah tidak boleh mengucapkan kata-kata yang kasar atau
”sompral”. Saung Ranggon tidak ditempati secara khusus oleh kuncen tetapi
dipergunakan sebagai tempat menyepi bagi orang yang datang (tamu) untuk minta
berkah atau karomah. Ramainya Saung Ranggon oleh pengunjung pada waktu-waktu
tertentu terutama malam Jumat Kliwon, Sabtu Suro, Maulid Nabi, Rajaban. Ritual
yang dilakukan untuk karuhun dipimpin oleh kuncen Bapak Tholib dengan memakai
sarana untuk sesajen yaitu bunga-bunga dan buah-buahan yang terdiri 7 macam
yang dipersembahkan untuk para karuhun dengan memanjatkan doa.
Pada setiap bulan Maulid (Hijriah) dilakukan hajat
”Maulidan”, dengan melakukan cuci pusaka dan dilanjutkan dengan hiburan
jaipongan (Sunda Bekasi) dan wayang kulit khas dari Bekasi (dengan budaya
Betawi). Kegiatan hajat budaya (cuci pusaka dan maulidan) dilakukan di halaman
rumah Tradisional Saung Ranggon dapat dijadikan sebagai daya tarik bila
dikembangkan sebagai objek wisata budaya.
Itulah sedikit cerita tentang saung ranggon yang ada di
kabupaten bekasi, semoga untuk kedepannya wisata sejarah ini dapat lebih maju dan
bayak wisatawan yang datang berkunjung kesana dan juga terus di lestarikan
keberadaan nya.
Categories:
Tulisan
mantap infonya gan.. sangat bermanfaat..
www.kiostiket.com